KESIMPULAN DAN REFLEKSI PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikiran  Ki Hadjar Dewantara. Dalam pandangannya, tujuan pendidikan adalah memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial serta didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Dasar-dasar pendidikan barat dirasakan Ki Hadjar tidak tepat dan tidak cocok untuk mendidik generasi muda Indonesia karena pendidikan barat bersifat regering, tucht, orde (perintah, hukuman dan ketertiban). Karakter pendidikan semacam ini dalam prakteknya merupakan suatu perkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Akibatnya, anak-anak rusak budipekertinya karena selalu hidup di bawah paksaan/tekanan. Menurut Ki Hadjar, cara mendidik semacam itu tidak akan bisa membentuk seseorang hingga memiliki “kepribadian”.

Berangkat dari uaraian di atas, kita dapat menangkap pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan, yakni upaya konkret untuk memerdekakan manusia secara utuh dan penuh. Baginya, pendidikan adalah pintu masuk menuju kemerdekaan lahiriah dan batiniah  manusia, baik sebagai makhluk individual maupun sebagai anggota masyarakat dan warga dunia. Dengan demikian, pendidikan menjadi  wadah untuk membangun otonomi intelektual, otonomi eksistensial, dan otonomi sosial. Pendidikan adalah cara untuk sampai pada kesadaran akan pentingnya memiliki ketiga otonomi diri di atas. Dengan demikian, kemerdekaan badaniah dan batiniah yang dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara adalah keadaan dimana manusia di Indonesia mampu menegaskan secara serentak otonomi eksistensi dirinya sebagai warga Indonesia dan warga dunia. Pendidikan menghantar seseorang memiliki otonomi diri secara utuh dan penuh dalam wilayah kognisi, afeksi, spiritual, social sehingga eksistensinya mampu berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri.

Ki Hadjar yakin bahwa bila kemerdekaan adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia, pendidikan adalah cara untuk mencapai atau memilikinya. Dalam pengertian itu pula, pendidikan dapat dimengerti sebagai wahana menuju kemerdekaan kemanusiaan dalam pengertian yang luas. Pendidikan menghantar manusia ke dalam kondisi hidup harmonis dengan diri, sesama dan lingkungannya. Dalam konteks itu pula, mendidik anak manusia haruslah berangkat dari pengakuan pada keunikan dan penghormatan pada potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Segala alat, usaha dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan. Kodratnya keadaan itu tersimpan dalam adat-istiadat setiap rakyat.

Ki Hadjar Dewantara mengajukan lima asas pendidikan yang dikenal dengan sebutan pancadharma (kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan).

Ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan dapatlah kita pandang sebagai terapan operatif dari kelima asas tersebut. Berikut adalah penalaran atas kelima asas tersebut.

Pertama, asas kodrat alam. Asas ini mengandung arti bahwa hakikat manusia adalah bagian dari alam semesta. Asas ini juga menegas¹kan bahwa setiap pribadi peserta didik di satu sisi tunduk pada hukum alam, tapi di sisi lain dikaruniai akal budi yang potensial baginya untuk mengelola kehidupannya.

Berdasarkan konsep asas kodrat alam ini, Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pelaksanaan pendidikan berasaskan akal-pikiran manusia yang berkembang dan dapat dikembangkan. Secara kodrati, akal-pikiran manusia itu dapat berkembang. Namun, sesuai dengan kodrat alam juga akal pikiran manusia itu dapat dikembangkan melalui perencanaan yang disengaja sedemikian rupa sistematik. Pengembangan kemampuan berpikir manusia secara disengaja itulah yang dipahami dan dimengerti sebagai “pendidikan”. Sesuai dengan kodrat alam, pendidikan adalah tindakan yang disengaja dan direncanakan dalam rangka mengembangkan potensi peserta didik yang dibawa sejak lahir.

Kedua, asas kemerdekaan.  Asas ini mengandung arti bahwa kehidupan hendaknya sarat dengan kebahagiaan dan kedamaian. Dalam khasanah pemikiran Ki Hadjar Dewantara asas kemerdekaan berkaitan dengan upaya membentuk peserta didik menjadi pribadi yang memiliki kebebasan yang bertanggungjawab sehingga menciptakan keselarasan dengan masyarakat. Asas ini bersandar pada keyakinan bahwa setiap manusia memiliki potensi sebagai andalan dasar  untuk menggapai kebebasan yang mengarah kepada “kemerdekaan”. Pencapaian ke arah pribadi yang mredeka itu ditempuh melalui proses panjang yang disebut belajar. Proses ini berjenjang dari tingkat yang paling dasar sampai pada tingkat yang tertinggi. Namun,perhatian kita hendaknya jangan difokuskan pada tingkatan-tingatannya semata, tapi juga pada proses kegiatan pendidikan yang memerdekakan peserta didik. Dalam pengertian itu, pendidikan berarti memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya menjadi kemampuan dan keahlian profesional (wengaktus atau mewujud) yang diemban dan dihayatinya dengan penuh tanggungjawab. Oleh karena itu, praksis pendidikan harus “luas dan luwes”. Luas berarti memberikan kesempatan yang selebar-lebarnya kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya seoptimal mungkin, sementara luwes berarti tidak kaku dalam pelaksanaan metode dan strategi pendidikan.

Ketiga, asas kebudayaan. Asas ini bersandar pada keyakinan kodrati bahwa manusia adalah makhluk berbudaya. Artinya, manusia mengalami dinamika evolutif dalam khasanah pembentukan diri menjadi pribadi yang berbudi pekerti. Dalam konteks itu pula, pendidikan perlu dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai budaya sebab kebudayaan merupakan cirikhas manusia. Bagi Ki Hadjar, kemanusiaan bukanlah suatu pemikiran yang statis. Kemanusiaan merupakan suatu konsep yang dinamis, evolutif, organis. Dalam kaitan ini, Ki Hadjar Dewantara memahami kebudayaan selain sebagai buah budi manusia, juga sebagai kemenangan atau hasil perjuangan hidup manusia. Namun selaras dengan keyakinan atas manusia sebagai makhluk dinamis, kebudayaan juga demikian. Kebudayaan selalu berkembang seirama dengan perkembangan dan kemajuan hidup manusia.

Keempat, asas kebangsaan, Asas kebangsaan merupakan ajaran Ki Hadjar Dewantara yang amat fundamental sebagai bagian dari wawasan kemanusiaan. Asas ini hendak menegaskan bahwa seseorang harus merasa satu dengan bangsanya  dan di dalam rasa kesatuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Dalam konteks itu pula, asas ini diperjuangkan Ki Hadjar Dewantara untuk mengatasi segala perbedaan dan diskriminasi yang dapat tumbuh dan terjadi berdasarkan daerah, suku, keturunan atau pun keagamaan.  Bagi Ki Hadjar kebangsaan tidaklah mempunyai konotasi, rasial biologis, status sosial ataupun keagamaan.  Rasa kebangsaan adalah sebagaian dari rasa kebatinan kita manusia, yang hidup dalam jiwa kita dengan disengaja. Asal mulanya rasa kebangsaan itu timbul dari Rasa Diri, yang terbawa dari keadaan perikehidupan kita, lalu menjalar menjadi Rasa Keluarga; Rasa ini terus jadi Rasa Hidup bersama (rasa sosial).  Wujudnya rasa kebangsaan itu umumnya ialah dalam mempersatukan kepentingan bangsa dengan kepentingan diri sendiri; kehormatan bangsa ialah kehormatan diri, demikianlah seterusnya.

Kelima,  asas kemanusiaan.  Asas ini hendak menegaskan pentingnya persahabatan dengan bangsa-bangsa lain. Dalam konteks Ki Hadjar sebagai tokoh di Indonesia, asas ini hendak menegaskan bahwa manusia di Indonesia tidak boleh bermusuhan dengan bangsa-bangsa lain. Manusia di Indonesia hendaknya menampilkan diri sebagai makhluk bermartabat luhur dan berdasarkan kesadaran itu pula ia berani menjalin dan memperlakukan sesama manusia dari bangsa mana pun dalam rasa cinta kasih yang mendalam.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, metode  pendidikan yang cocok dengan karakter dan budaya orang Indonesia tidak memakai syarat paksaan. Orang Indonesia adalah termasuk ke dalam bangsa timur. Bangsa yang hidup dalam khasanah nilai-nilai tradisional berupa kehalusan rasa, hidup dalam kasih saying,  cinta akan kedamaian, ketertiban, kejujuran dan sopan dalam tutur kata dan tindakan. Nilai-nilai itu disemai dalam dan melalui pendidikan sejak usia dini anak. Dalam praksis penyemaian nilai-nilai itu, pendidik menempatkan peserta didik sebagai  subyek, bukan obyek pendidikan. Artinya, peserta didik  diberi ruang yang seluasnya untuk melakukan eksplorasi potensi-potensi dirinya dan  kemudian berekspresi  secara kreatif, mandiri dan bertanggungjawab.

Berangkat dari keyakinan akan nilai-nilai tradisional itu, Ki Hadjar yakin pendidikan yang khas Indonesia haruslah berdasarkan citra nilai Indonesia juga. Maka ia menerapkan tiga semboyan pendidikan yang menunjukkan kekhasan Indonesia, yakni : Pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya seorang guru adalah pendidik yang harus memberi teladan. Ia pantas digugu dan ditiru dalam perkataan dan perbuatannya. Kedua,  Ing Madya Mangun Karsa, artinya seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus membangun semangat dan ide-ide  mereka untuk berkarya. Ketiga,  Tut Wuri Handayani,  artinya seorang guru adalah pendidik yang terus-menerus menuntun, menopang dan menunjuk arah yang benar bagi hidup dan karya anak-anak didiknya.

Praksis pendidikan berdasarkan metode Ki Hadjar Dewantara menempatkan guru sebagai pengasuh yang matang dalam penghayatan dan pelaksanaan nilai-nilai kultural yang khas Indonesia. Maka pendidikan pada dasarnya  adalah proses mengasuh anak-anak untuk bertumbuh dan berkembang dalam potensi-potensi diri (kognisi, afeksi, psikomotorik, konatif, kehidupan sosial dan spiritual). Dalam rangka itu, guru tidak menggunakan metode paksaan, tapi memberi pemahaman sehingga anak mengerti dan memahami yang terbaik bagi dirinya dan lingkungan sosialnya. Guru boleh terlibat langsung dalam kehidupan anak tatkala anak itu dipandang berada pada jalan yang salah. Tapi pada prinsipnya tidak bersifat paksaan. Keterlibatan pada kehidupan anak tetap dalam konteks penyadaran dan asas kepercayaan bahwa anak itu pribadi yang tetap harus dihormati hak-haknya untuk dapat bertumbuh menurut kodratnya.

Fenomena pendidikan saat ini menurut saya menghadapi tantangan  serius dalam mengimplementasikannya, yakni:  Reduksi atas hakikat makna pendidikan menjadi sekadar pembelajaran dan pengajaran. Reduksi ini bisa terjadi selain  karena pergeseran  pemaknaan  konsep pendidikan, juga karena perkembangan jaman yang turut mempengaruhi pola-pola kehidupan setiap orang yang terlibat dalam proses pendidikan (orang tua, guru, dan murid). Pergeseran pemaknaan konsep pendidikan dapat kita temukan dalam cara berpikir setiap orang  di Indonesia  yang, misalnya  kalau kita berbicara tentang pendidikan, pada umumnya langsung terarah ke sekolah. Artinya, orang-orang di Indonesia pada umumnya berpikir bahwa pendidikan itu terjadi di sekolah, dari yang terendah sampai yang tertinggi.

Konsekuensi reduksi ini adalah bahwa proses pendidikan jatuh pada upaya pengembangan potensi kognisi peserta didik saja, suatu hal yang berbahaya sebabmereduksi hakikat  pendidikan dan sekaligus hakikat manusia.  Pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan kurikulum, bagaimanapun pembelaan atasnya pada tataran teoretis,  dalam praksisnya tetap  merupakan upaya  teknis  pengajaran formal. Akibatnya, pengembangan potensi-potensi lainnya seperti,   potensi afeksi, sosial, spiritual,  terabaikan. 

Setelah membaca dan merefleksikan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara dan juga membaca fenomena pendidikan saat ini, menurut saya yang saya bisa lakukan adalah menjadi pendidik sebagai teladan.

Persoalan-persoalan pendidikan bisa jadi terkait erat juga dengan mentalitas pendidik. Sesuai dengan visi pendidikan Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidik adalah seorang teladan bagi peserta didiknya maka pendidik benar-benar orang yang pantas diteladani. Istilah menjadi teladan menunjukkan bahwa seorang pendidik adalah model yang ideal untuk ditiru oleh peserta didiknya dalam hal perkataan dan perbuatan sehari-hari. Ringkasnya, praksis kehidupan pendidik memancarkan wibawa kejujuran, kesahajaan, kecerdasan, yang selalu membangkitkan semangat dan kesadaran para muridnya untuk melakukan hal yang senada. Pengaruh yang tampak dalam praksis pendidikan adalah bahwa kehadiran pendidik selain menentramkan perasaan, juga membangkitkan semangat belajar peserta didik sehingga mereka giat belajar menimba ilmu pengetahuan dan rajin ke sekolah. Kecuali itu, pendidik dipahami juga sebagai seseorang yang memiliki integritas moral. Praksis hidupnya, di sekolah dan di dalam masyarakat, memiliki kekuatan dalam mempengaruhi orang lain ke arah kebaikan dan kesahajaan. Sementara dalam aktivitas pengajarannya di sekolah, ia menciptakan dan memberikan peluang seoptimal mungkin bagi pengembangan potensi-potensi peserta didiknya.

Dengan demikian, para murid yang berada di bawah asuhannya tidak menjadi robot-robot yang pandai meniru saja, tapi sebaliknya mereka menjadi semakin kritis dalam menakar segala fenomena kehidupan dan kreatif dalam mencari dan menyusun strategi untuk mengatasi setiap persoalan yang mendera kemanusiaan. 

CGP Garut